Selasa, 04 Mei 2010

Raja Cheng Tang Memohon Hujan

Siapakah Raja Cheng Tang ini?
Dia adalah seorang raja pada zaman Tiongkok kuno, adalah seorang raja yang mendirikan negara pada masa dinasti Shang (Kira-kira abad ke-16—11 SM), dia adalah raja yang memimpin dengan bijaksana, yang mencintai rakyat layaknya anak sendiri, dan dialah yang memimpin pasukan menggulingkan raja lalim Xia Jie terakhir dinasti Xia.

Sejak itu, rakyat hidup aman sentosa. Namun, tidak lama kemudian, negerinya mengalami bencana kekeringan yang sangat panjang, lama sekali tidak turun hujan, sungguh kekeringan yang belum pernah terjadi selama ini, sehelai rumput pun tidak tumbuh dil adang, tidak ada makanan. Orang mengganjal perut dengan hanya memakan akar rumput atau kulit pohon. Air di danau, sungai atau sumur perlahan-lahan mengering hingga ke dasar, setiap hari disinari dengan panas matahari yang terik, nyaris menguapkan batu di palung sungai. Namun, kala itu orang-orang tak berdaya, hanya bisa berbaris panjang, sepanjang hari dan malam, memukul genderang, mengadakan upacara dan sembahyang kepada Langit Dewata, dengan maksud menggugah Sang Pencipta.

Sampai tujuh tahun berlalu sudah, namun tidak tampak sedikit pun bayangan akan turun hujan. Kala itu, raja sangat gelisah, sedih dan iba melihat orang-orang yang menderita karena kekeringan, tapi dia tak berdaya sedikit pun, dia hanya bisa mengirim lebih banyak orang dan memperluas barisan memohon hujan, namun, semua itu sia-sia, tiada tanda akan hujan.

Suatu hari, seorang ahli nujum istana yang bernama Bu Guan, telah meramal masalah memohon hujan, kemudian peramal istana segera melapor pada raja: “Untuk memohon hujan harus menyelenggarakan sembahyang kepada Langit Dewata dari jiwa manusia, baru bisa turun hujan.” Artinya harus mengorbankan jiwa manusia untuk sembahyang kepada Langit Dewata, kening raja berkerut setelah mendengar penuturan peramal istana dan berkata: “Memohon hujan sesunguhnya adalah untuk menolong rakyat dari bencana kekeringan, jika karena hal ini dan membunuh manusia, bukankah itu dosa yang amat besar ?” Ia tidak setuju dengan cara demikian. Tapi, ia benar-benar tidak tahu cara lainnya yang lebih baik, ia menarik napas panjang sembari mengatakan: “Jika memang harus mengorbankan manusia, biarlah saya saja.” Lalu raja memutuskan mengorbankan dirinya memohon hujan demi rakyat.

Akhirnya saat mengadakan upacara memohon hujan-pun tiba. Tampak raja Cheng hanya mengenakan pakaian dari kain kasar warna putih, dengan rambut tergerai, dan tubuh terikat dengan seutas tali putih pemercik api. Duduk di sebuah kereta putih, ditarik oleh dua ekor kuda, menuju ke hutan murbei dewa bumi. Orang-orang yang mengiringi mengangkat bejana berkaki tiga, menyandang bendera, berjalan ke depan sambil memainkan musik yang sedih, kereta raja Cheng berjalan perlahan mengikuti dari belakang, sepanjang jalan para pendeta membacakan doa-doa khusus untuk upacara memohon hujan, pemandangan seperti itu tampak begitu memilukan.

Tidak lama kemudian mereka tiba di hutan murbei, di sini adalah sebuah tempat yang hanya akan dipakai dalam upacara sembahyang besar-besaran. Ketika rombongan raja Cheng tiba, di sana sudah di penuhi dengan lautan manusia. Di depan altar sudah di penuhi dengan tumpukan kayu bakar, dengan lidah api yang menyala-nyala di altar sembahyang, beberapa pendeta tengah mempersiapkan berbagai macam pekerjaan sebelum memanjatkan doa memohon hujan.

Begitu tiba saatnya, raja Cheng dipapah beberapa pendeta, dan perlahan-lahan turun dari kereta menuju ke altar. Berlutut di depan altar, lalu dengan tulus dan khitmad memajatkan doa pada dewata: “Saya adalah raja, pemimpin rakyat negeri ini, biarlah segala dosa dan kesalahan saya yang tanggung, tapi saya mohon jangan limpahkan kepada rakyat…"

Saat itu, maha guru yang memimpin upacara memohon raja maju ke depan, mengambil sebuah gunting dari balik jubahnya, lalu dengan cekatan memotog rambut dan kuku raja Cheng yang panjang, kemudian diletakkan di altar sembahyang dan membakarnya.

Setelah itu, dengan dipapah oleh 2 pendeta, raja Cheng dibawa ke tumpukan kayu bakar yang tinggi. Raja Cheng tersenyum sambil menundukkan kepalanya, sedikit pun tidak tampak takut, malah dengan khitmad berdiri di sana, khusus menanti datangnya detik-detik itu, yang mana kemudian kayu bakar di sekelilingnya itu akan dinyalakan oleh pendeta.

Ini adalah pemandangan yang sangat memilukan: matahari yang terik di puncak kepala, membakar seisi jagad raya. Tidak ada setitik pun mega di sekitar, hanya semilir angin yang meniup lembut di muka raja Cheng, ribuan rakyat jelata berdesakan di sekeliling hutan murbei. Mereka semua merasa ngeri melihat raja yang arif dan bijaksana yang mereka cintai itu. Akhirnya detik-detik itu pun tiba, suara yang memilukan bergema di telinga mereka, mencengkam sanubari semua orang. Para pendeta telah menyalakan api di altar, berkobar menyala-nyala di sekeliling tumpukan kayu bakar, dan kini tinggal menunggu perintah pimpinan pendeta.

Akhirnya para pendeta meletakkan obor di tangan mereka. Dan sesaat itu, lidah api menggulung nyala api, dan terus menjalar ke tumpukan kayu bakar, dari kejauhan tampak percikan api yang menyala-nyala telah mengepung raja Cheng yang berdiri di tumpukan kayu bakar tinggi dengan cucuran keringat, tali pemercik api yang terikat di tubuhnya sudah hampir terbakar.

Tepat di saat yang kritis itu, tiba-tiba terjadilah keajaiban: sebersit angin kencang disertai dengan gumpalan awan hitam, bergulung-gulung dengan cepat dari timur laut menuju ke hutan murbei. Dan dalam sekejab menyelimuti angkasa yang tadinya panas dan terik oleh sinar mentari. Dan seketika itu juga titik hujan sebesar kacang kedelai turun dengan lebat, menyusul dengan kilatan petir di angkasa, dan hujan turun semakin deras. Orang-orang yang selama ini mengharapkan turunnya hujan bukan main gembiranya, mereka meloncat-loncat dan bersorak gembira, menelentangkan leher mengangakan mulut menyambut air hujan, membasahkan kerongkongan yang selama ini kering, bahkan meraup air dan memukul dahi sendiri, menyatakan terima kasih.

Saat itu, raja Cheng yang berada di tumpukan kayu bakar juga menengadahkan kepalanya, menatap angkasa. Kening yang berkerut selama ini akhirnya terentang, dari lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat bersyukur atas rahmat Tuhan dan berterimakasih kepada rakyatnya. Adalah ketulusan hatinya yang hendak menyelamatkan rakyatnya itulah yang telah menggugah Langit Dewata. Awan yang bergumpal-gumpal di sekeliling terus mendekati bumi.

Dan akhirnya kekeringan selama 7 tahun itupun hilang tak berbekas saat itu juga. Api yang berkobar di sekeliling tumpukan kayu bakar dan di altar persembahan sudah padam diguyur hujan. Semua orang bernyanyi gembira di tengah hujan, beberapa pendeta naik ke atas memapah raja bijaksana yang mencintai rakyatnya seperti anak sendiri dan yang rela berkorban memohon hujan demi rakyat yang dicintainya.

Hikmah yang dapat diambil dari cerita ini adalah merupakan contoh teladan bagi seorang pemimpin (raja, presiden atau bahkan seorang ketua kelas). Seorang pemimpin akan selalu berada pada barisan terdepan untuk mengayomi dan melindungi rakyatnya. Pada saat mengalami kesusahan pemimpin akan berada di depan dan jika mengalami kesenangan pemimpin berada di belakang. Jika harus lapar, pemimpin rela lebih dahulu lapar dan jika kenyang dia rela untuk mendapatkannya paling akhir. Begitu selayaknya menjadi pemimpin.

(Sumber Minghui School)
MENGAMPUNI

Pada hari Minggu pagi tanggal 8 November 1987 seorang pria Irlandia, Gordon Wilson, bersama putrinya yang berusia 28 tahun, Marie, pergi menonton pawai di kota Enniskillen di Irlandia Utara. Ketika mereka berdiri di samping sebuah dinding batu sembari menantikan kesatuan prajurit dan polisi Inggeris berbaris melewati mereka, sebuah bom dari teroris IRA (Irish Republican Army) meledak di belakang mereka.

Enam orang tewas seketika karena ledakan itu. Gordon dan putrinya terkubur beberapa meter di bawah tumpukan batu. Gordon merasakan bahu dan lengannya terluka, tetapi ia tidak dapat bergerak. Kemudian, ia merasakan ada seseorang menyentuh jari-jarinya.

Ini Ayah, kan?” bisik Marie.

“Betul, Marie,” sahut ayahnya.

Gordon mendengar suara-suara samar orang-orang yang berteriak kesakitan, kemudian suara yang jauh lebih jelas, yakni teriakan maria. Ia meramas tangan putrinya kuat-kuat sambil berkali-kali bertanya apakah ia baik-baik saja. Di antara jerit kesakitannya, Marie berkali-kali meyakinkan ayahnya bahwa ia baik-baik saja.

”Ayah, aku sangat mengasihi Ayah,” itulah kata-kata terakhir putrinya yang didengar Gordon. Empat jam kemudian, setelah mereka akhirnya diselamatkan, Marie meninggal dunia di rumah sakit karena mengalami kerusakan parah di otak dan tulang belakang.

Selanjutnya siang itu, seorang wartawan BBC ingin mewawancarai Gordon. Setelah ia menggambarkan apa yang sedang terjadi, wartawan itu bertanya kepada Gordon, ”Bagaimana perasaan anda terhadap orang yang memasang bom itu?”

Jawabannya sangat mengejutkan. ”Saya tidak membenci mereka,” sahut Gordon. ”Saya tidak dendam kepada mereka. Kata-kata yang sengit tidak akan menghidupakan Marie Wilson kembali. Saya akan berdoa malam ini dan setiap malam agar Allah mengampuni mereka.” Sebagian orang menduga bahwa pernyataan itulah yang akhirnya menenangkan kelompok-kelompok militer yang sebelumnya sangat marah terhadap pengeboman itu, dan hal itu mencegah terjadinya suatu serangan balasan yang berdarah.

Pada bulan berikutnya, banyak orang bertanya kepada Gordon yang pada akhirnya menjadi senator Republik Irlandia tentang bagaimana ia dapat mengampuni tindakan kejam yang didasari kebencian tersebut.

“Hati saya terluka,” ujar Gordon. “Saya telah kehilangan putri saya, tetapi saya tidak marah. Kata-kata terakhir Marie kepada saya, kata-kata kasih, menumbuhkan kasih saya. Saya menerima anugerah Allah untuk mengampuni melalui kekuatan kasihNya bagi saya.Selama bertahun-tahun setelah tragedi yang merengut nyawa putrinya dan yang juga nyaris merengut nyawanya sendiri itu, Gordon Wilson bekerja tanpa mengenal lelah untuk memperjuangkan kedamaian dan rekonsiliasi di Irlandia Utara sampai akhir hayatnya.

Inspirasi

Gordon Wilson telah mengalami anugerah Allah, kasih dan pengampunanNya yang melingkupi segalanya. Manakala anugerah menyentuh kehidupan kita, maka kita merasa diampuni dan dibebaskan dari belenggu pada bagian terpenting dalam kehidupan kita, dan kita pun mendapatkan anugerah untuk mengampuni orang lain. Anugerah dan pengampunan semacam itu dapat membawa kedamaian di mana ada perselisihan, membawa pemulihan di mana ada keputusasaan. Anugerah semacam itu dapat mengubah kehidupan kita dan kehidupan orang-orang di sekeliling kita, bahkan mereka yang melukai hati kita untuk selama-lamanya.

”Mengampuni dengan alasan apa pun bukanlah bentuk dari kemurahan kristiani, melainkan keadilan semata. Menjadi seorang kristiani berarti harus mengampuni hal yang tak terampuni, karena Allah telah mengampuni hal yang tak terampuni dalam diri Anda”. -

C.S LEWIS”Sebab itu, sebagai anak-anak yang terkasih, teladanilah Allah dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan kurban yang harum bagi Allah.” -

Epesus 5: 1 Sumber: Buletin BAIT Edisi 73.

Dikirim oleh : Widodo Gunawan

Senin, 03 Mei 2010

CONFESSIONS OF A POOR LISTENER

Buying In to the Lie, by Bo White

Bo White menerima gelar M.Div-nya dari Covenant Theological Seminary yang berada di bawah Presbyterian Church of America. I pernah melayani di Twin Oaks Presbyterian Church di sebuah kota kecil St.Louis, dimana ia tinggal dengan istrinya Tamara.

Langkah awal yang dilakukan sangat di luar dugaan; dan setelah kira – kira 90 menit kita semua pergi dengan buku agenda yang telah terisi, hati kami berpacu dengan stres baru tentang hari esok, dan jiwa kami seakan terhisap habis sehingga kami cepat merasa lelah. Kami mengingatkan diri kami akan banyak martir dalam sejarah gereja yang dianiaya, dihina, dibakar hidup – hidup, dibuang dari tempat asal, disalibkan, dirajam, ditenggelamkan dan dipenggal. Maka kami bertahan semampu kami, dengan jadwal kami yang penuh, sepenuh yang dapat kami isi; demikianlah kami, menuntut diri kami di antara mereka yang menderita untuk Kristus.

Akhir bulan April ini, saya melakukan perjalanan ke San Anselmo, California, untuk mengikuti retreat di hari Sabbath yang diadakan oleh Youth Specialities. Sesuatu yang menarik terjadi dalam perjalanan yang telah membuktikan sesuatu tentang kepemimpinan saya, perjanjian saya dengan anggota, dan cara hidup saya dengan Tuhan. Singkatnya, saya belajar untuk mendengarkan lagi mengenai semuanya. Ada hal lain yang saya pelajari; tetapi pada kenyataannya, hal lain itu tidak pernah akan dapat saya hadapi jika telinga saya tidak dibersihkan. Saya jatuh pada kesalahan yang sama dengan banyak orang dalam pelayanan-mengingat semua orang ingin mendengar saya berbicara tentang Alkitab. Pada kenyataanya, manusia perlu untuk mendengar dari Tuhan, dan kadang – kadang saya perlu untuk diam sehingga hal itu dapat terjadi.

Listening to God
Beberapa bulan yang lalu, saya menyadari bahwa kami memerlukan staff, dan pertanyaan yang ditanyakan kepada saya pada level kepemimpinan adalah “Siapa yang akan mengisi kekosongan itu?” Itu bukanlah pertanyaan yang buruk, tetapi itu juga bukan pertanyaan yang baik. Kami tidak ingin asal asalan hanya untuk mengisi kekosongan dalam gereja dengan seseorang sehingga program kami dapat terus berlangsung tanpa terganggu. Kami ingin menjangkau orang dengan Injil yang hidup dan membawa mereka kepada hubungan dengan Yesus yang hidup yang kuburnya telah kosong. Jadi pikiran saya melayang pada studi pembelajaran pada retreat di California dan pada Yesus sendiri. Berpusat pada saat Yesus dalam memanggil murid, apakah ia mengumpulkan kepemimpinan rumah ibadat, membuat rincian tugas, dan membuat daftar calon yang mungkin? Apakah Yesus bertemu orang – orang penting dan menjalin hubungan dengan mereka untuk menanyakan pendapat mereka dan mulai mengumpulkan daftar orang yang potensial? Tentu tidak. Pada kenyataannya, berpusat pada memanggil siapapun, Yesus menghabiskan waktu selama 40 hari di padang gurun, dicobai Iblis dan dipimpin oleh Roh Kudus.

Kedua pengalaman tersebut terlihat normal daripada apa yang dapat kita akui. Ketika kita berusaha untuk mendengar suara Tuhan, walaupun kita ingin mengikuti pimpinan Roh Kudus, kita akan dicobai oleh Iblis. Bagaimana kita dapat membuat keputusan yang bijaksana? Mendengarkan harus menjadi hal yang utama dalam hidup kita jika kita ingin bertumbuh menjadi seorang pemimpin dan sebagai orang yang berusaha mencari Tuhan. Yesus merespon pencobaan tersebut dengan Firman Tuhan, tetapi Ia tidak merespon setelah benar – benar mendengarkan. Ia mendengarkan Roh Kudus dan apa yang keluar dari mulutnya adalah hasil dari mendengarkan.

Ketika saya memikirkan pekerjaan staff saya dan hasil rapat yang saya hadiri pada rapat mingguan, saya dengan sedih mengakui bahwa mendengarkan bukanlah pekerjaan ataupun keberanian. Kebiasaan yang biasa kita lakukan, saat teduh dan pembelajaran untuk mendengarkan Tuhan saja tidak dilakukan dengan seharusnya. Tetapi saya tidak menyalahkan ketidakmampuan saya untuk mendengar dengan baik dalam kebiasaan kita. Saya mengakui saya dengan cerdik dibawa pada sebuah kebohongan bahwa jadwal yang padat menandakan bahwa pelayanan itu telah berhasil. Saya siap mengakui bahwa saya telah mempercayai kebohongan bahwa duduk selama beberapa jam, berdoa untuk kaum muda di gereja, membaca Firman Tuhan, mendengarkan pembinaan, mencari wajah Allah bukan sebagai tugas pendeta seperti kunjungan rumah sakit, mengajar, atau pendalaman Alkitab dalam kelompok kecil. Saya juga mengakui bahwa saya mendorong staff saya untuk sibuk dan juga meminta mereka untuk melakukan apa yang mungkin mereka lakukan-dalam pekerjaan Tuhan tanpa mendengarkan suara Tuhan. Saya meminta mereka untuk mengharapkan badai berkat dan kegemparan dalam acara pemuda daripada mendengar pada suara Allah yang lembut dan tenang. Saya menutupi kebohongan itu.

Listening to One Another
Seorang teman dekat saya mengajarkan kepada saya jika anda bukanlah seorang pendengar yang baik, anda tidak mempunyai sesuatu yang baik untuk dikatakan. Saya menemukan hal menarik dalam pelayanan Yesus yang hanya berlangsung selama 3 tahun. Apa yang Ia lakukan selama 29 tahun lainnya dalam hidupnya? Pada usia 12 tahun, apakah ia mencengangkan para ahli taurat dengan khotbah dan pengilustrasiannya yang luar biasa? Sebaliknya, Alkitab memberitahukan kita Yesus mencengangkan para ahli taurat, bukan dengan khotbahnya tetapi dengan pertanyaanNya. Pada kenyataanya, ketika ibuNya datang ke rumah ibadat, ia menemukan Yesus sedang duduk, “Sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan – pertanyaan kepada mereka.” (Lukas 2:46). Ia tidak mengajarkan Khotbah di Gunung hingga 18 tahun kemudian.

Francis Schaeffer pernah berkata jika ia mempunyai waktu selama satu jam untuk dihabiskan dengan seseorang yang ia tidak kenal, ia akan menghabiskan waktu 55 menit pertama untuk mengajukan pertanyaan. Dengan kata lain, ia akan menghabiskan waktu untuk mendengarkan daripada untuk berbicara. Mengapa di dunia ini, kita merasa seakan kita harus berbicara sepanjang waktu? Mengapa kita, yang menjadi pengikut Kristus dan mengajarkan Injil, berjuang untuk duduk diam, mendengarkan dan mengajukan pertanyaan? Tidakkah Yesus sering menyendiri untuk berdoa dan mendengarkan Tuhan?

Consider the Birds of the Air
Ketika duduk di bangku yang berada di sebuah taman di Selatan California, mata saya tertuju pada sepasang burung yang sedang terbang di atas gunung. Yang seekor adalah burung puyuh, dengan sibuk mengepakkan sayapnya seakan ia akan jatuh jika ia tidak berusaha sekeras mungkin. Burung yang lain, seekor rajawali, membumbung tinggi di atas puncak pepohonan dengan santai. Sayapnya dibentangkan lebar di samping tubuhnya dan ia terlihat anggun melampaui dedaunan dan dahan pohon. Untuk sementara, mata saya terpaku pada perbedaan yang kontras itu dan saya melupakan pada kegiatan di gereja kami yang sedang direncanakan. Saya lupa pada batas waktu dan masalah. Saya hanya menonton dan melihat kedua burung itu.

Saya teringat pada perintah Yesus untuk tidak khawatir tentang hari esok atau tentang makanan, pakaian atau tempat tinggal – renungkanlah burung – burung di udara. Itulah yang saya lakukan. Saya memperhatikan. Dan untuk sementara saya tidak khawatir. Dan ada sesuatu hal menarik yang mengejutkan saya. Burung kecil yang sibuk untuk berusaha bertahan di udara dan rajawali yang mengatasi puncak pepohonan dengan luarbiasa melakukan sesuatu yang biasa. Mereka berdua sedang terbang.

Ketika saya bergumul untuk mendengarkan Tuhan dan orang berkata bahwa saya mungkin benar – benar mengasihi Tuhan dan manusia, saya tahu saya menepuk angin dengan sia – sia. Saya kehabisan waktu dan mungkin terlihat seperti saya akan runtuh pada suatu saat. Saya sibuk membangun sarang, mengumpulkan makanan, dan memberikan anak – anak. Tidak ada waktu untuk santai. Maka saya berhenti dan ingat sebuah pertanyaan, “Tidakkah kaudengar?” (Yesaya 40:28)

Apakah anda mendengarkan belakangan ini? Ketika saya berhenti dan mendengarkan, saya teringat bahwa “orang – orang menanti – nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru; mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya;mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.” (Yesaya 40:31) Saya pendengar yang buruk, tetapi dengan kasih karunia Tuhan, saya akan tenang dan terbang kembali.
PEDULI YANG LEBIH PENTING

Wayne Cordeiro, seorang pendeta yang melayani di Hawai, suatu hari berdoa agar tidak turun hujan pada kegiatan penting jemaat. Ternyata pada hari kegiatan tersebut turun hujan. Wayne mengeluarkan mobilnya dan berdoa dengan sungguh-sungguh, imannya ditunjukkan dengan tidak menghidupkan wiper penyapu hujan dikaca depan mobilnya. Hujan makin lebat. Begitu tiba di gereja, Wayne mengangkat tangannya ke langit, jemaat menyaksikan pendetanya menyembah Tuhan mohon hujan tidak turun, segera berhenti. Hujan makin lebat saja seolah mengejek Wayne. " Tuhan, mengapa hujan makin lebat, Tuhan tidak peduli doa-doaku?" Kemudian Wayne sadar atau Tuhan menegurnya, "Wayne, engkau lebih peduli terhadap ketidakhadiran hujan hari ini daripada ketidakhadiran- Ku(kasih karunia,...dsb) di jemaatmu - kehidupanmu -pelayananmu - keluargamu -relasimu... ." Bagaimana Tuhan Yesus juga telah menegur Marta tentang satu hal yang penting dan perlu yang tidak akan diambil daripada Maria, saudaranya?

Wayne disadarkan tentang hakekat kehidupan agar dirinya tidak mengalami Burn out, kekeringan rohani? Semakin melayani ke sana kemari, diundang retret, KKR, Seminar, mentoring, menulis, konseling, d s t, hari itu merefleksi diri, Adakah dia makin mengenal dan menghayati Kristus,makin dekat dengan Tuhan? ataukah malah semakin jaauuuhhh dari Tuhan dan kehendak-Nya yang harus diwujudkan??

Mungkinkah ditengah kesibukan dan keramaian kegiatan atau kerumunan manusia bisa merasakan kesepian (LONELY IN THE CROWD?)?

Mungkinkah ditengah kesibukan dan ....bisa mengalami yang disebut kehilangan hadirat Tuhan?

Mungkinkah ada obsesi, fokus kegiatan atau sesuatu yang kemudian jadi lebih utama , jadi berhala?

Wayne kemudian pergi ke biara untuk memasuki saat hening : Stillness, lebih daripada quiet dan silence. Tidak boleh ada hp, tidak boleh bawa laptop dan tidak ada internet dan tidak boleh minum kopi.Hanya boleh menulis resolusi dan komitmen. Mana tahan?

Yang menarik, memperbaharui disiplin saat teduh. Sebelumnya bersaat teduh untuk persiapan kotbah, bagikan kepada jemaat. Sekarang bersaat teduh untuk hatinya, menyentuh kehidupan pribadi DULU, baru dibagikan kepada jemaat dan masyarakat.

Pertanyaan penting: Tuhan selalu ada menyertai dan melindungi dalam hidup kita, namun adakah kita sungguh-sungguh menyadari kehadiran-Nya secara jelas & penuh? (bandingkan respon Yakub, Kejadian 28:16).

Tuhan selalu temukan kita dan hati kita menjadi tempat Yesus tinggal sebagai TUHAN atas hidup kita, pergumulan kita adalah menemukan Tuhan dalam setiap jengkal kehidupan dan peristiwa bahkan hembusan nafas sehingga mampu bersyukur, berterimakasih karena berserah bersandar total kepada-Nya yang adalah Juruselamat dan TUHAN, sumber hikmat-sukacita- belas kasih-maha kudus dan maha-maha lainnya.

Sejauh mana sehari-hari Menapaki Hari bersama Allah dan sampai dimanakah perjalanan hidup ini Merupa Hidup dalam Rupa-Nya, menjadi kerinduan dan komitmen semakin menyala, menjadi kurban bagi-Nya.

Met berjuang,
yohch & henny
DUKE VACLAV – BOHEMIA (THN 929)

Banyak yang mungkin ingat lagu Natal “Good King Wenceslaus” nadanya terdengar di mana-mana selama musim liburan. Tetapi, tahukah anda bahwa lagu natal itu ditulis mengenai seorang martir Kristen?

“Raja Wenceslaus” sebenarnya adalah seorang Duke bernama Vaclav. Duke Vaclav memerintah Bohemia (yang sekarang menjadi Republik Ceko) dengan hukum-hukum kristiani sampai saudaranya, Boleslav, yang penyembah berhala membunuh dia. Vaclav adalah seorang Kristen yang taat yang umur pendeknya diwarnai dengan intrik politik, pembunuhan dan pengaruh penyembahan berhala.

Kakek Vaclav yang beragama Krsiten memerintah Bohemia pada suatu waktu ketika bangsa Slavic sedang dikenalkan kepada Injil. Kakek Vaclav membangun gereja Kristen pertama di Ceko, di utara Praha. Ayah Vaclav, Duke Vratislav I, mengikuti jejak kedua orang tuanya, menjadi seorang Kristen yang berapi-api dan mengajarkan putranya nilai-nilai Kristiani.

Kehidupan Vaclav terlempar di dalam kekacauan setelah kematian ayahnya dan membiarkan ibunya, Drahomira, memerintah. Drahomira, seorang bekas penyembah berhala, memerintah Bohemia dengan keserakahan dan kekejaman. Setelah kematian ayahnya, Vaclav mencari perlindungan kepada neneknya, Ludmila. Seorang wanita Kristen yang popular dan lemah lembut, Ludmila sangat bersemangat menolong cucunya menjadi seorang pemimpin Kristen yang baik.

Ludmila mendorong Vaclav untuk menyingkirkan tahta ibunya. Drahomira membalasnya dengan menggantung Ludmila. Ketika di tahun-tahun masa remajanya, Vaclav merebut tahta dari ibunya dan mengubah kembali Bohemia ke jalan nilai-nilai Kristiani.

Pada masa pemerintahannya, Duke Vaclav sangat baik hati terhadap anak yatim, janda dan yang miskin. Ia dengan rutin membawa kayu kepada yang membutuhkannya, mengunjungi mereka yang di penjara dan menebus yang tertawan. Ia menerima dengan tangan terbuka para misionari Jerman dan mendirikan gereja-gereja.

Kekuasaan Vaclav berakhir ketika saudaranya, seorang penyembah berhala meyakinkan sekelompok bangsawan anti-Kristen untuk membunuhnya. Boleslav mengundang saudaranya ke suatu acara makan. Dalam perjalanan ke acara makan malam tersebut, Vaclav ditikam di tangga menuju gereja. Sementara ia sekarat, kata-kata terakhir Vaclav adalah “Saudaraku, semoga Tuhan mengampunimu!” Rakyat Bohemia sangat kecut hati dan dengan segera memberikan gelar martir kepada Vaclav.

Pada tahuan 1853, John Neale, menulis lagu Natal ini “Good King Wenceslaus” setelah mendengar kisah Duke Vaclav dari tentara Inggris yang kembali dari Eropa Timur. Menteri Inggris secara khusus menulis lagu ini untuk anak-anak, menyanjung kemurnian akan kebaikan.

Source:
Buletin KDP (Kasih Dalam Perbuatan) Edisi Januari – Pebruari 2009
P.O. Box 1411 - Surabaya 60014