Kamis, 21 Agustus 2008

KEMARTIRAN POLIKARPUS

Keadaan sangat memanas. Polisi Smyrna sedang memburu Polikarpus, uskup yang disegani di kota itu. Para polisi itu sudah mengirim orang-orang Kristen lainnya untuk dibunuh di arena, kini mereka menghendaki sang pemimpin.

Polikarpus telah meninggalkan kota itu dan bersembunyi di sebuah ladang milik teman-temannya. Bila pasukan mulai menyergap, iapun melarikan diri ke ladang lain. Meskipun hamba Tuhan ini tidak takut mati dan memilih berdiam di kota , teman-temannya mendorongnya bersembunyi. Mungkin karena mereka takut kalau-kalau kematiannya akan mempengaruhi ketegaran gereja. Jika itu alasannya, maka mereka salah tafsir.

Ketika polisi mendatangi ladang pertama, mereka menyiksa seorang budak untuk mencari tahu tentang Polikarpus. Kemudian mereka menyerbu dengan senjata lengkap untuk menangkap uskup itu. Meskipun ada kesempatan lari, Polikarpus memilih tinggal di tempat, dengan tekad, “Kehendak Allah pasti terjadi.” Diluar dugaan, ia menerima mereka seperti tamu, memberi mereka makan dan meminta izin selama satu jam untuk berdoa. Ia berdoa dua jam lamanya.

Beberapa penangkap merasa sedih menangkap orang tua yang begitu baik. Dalam perjalannanya kembali ke Smyrna , kepala polisi yang memimpin pasukan itu berkata, “Apa salahnya menyebut ‘Lord Caesar’ (Tuhan Kaisar) dan mempersembahkan bakaran kemenyan?”

Dengan tenang Polikarpus mengatakan bahwa ia tidak akan melakukannya.

Para pejabat Romawi yakin bahwa roh kaisar, ilahi adanya. Bagi orang Romawi pada umumnya, dengan sejumlah dewa, menyembah kaisar bukanlah masalah. Mereka melihat hal itu sebagaI loyalitas kebangsaan. Namun orang-orang Kristen tahu bahwa itu adalah penyembahan berhala.

Karena orang-orang Kristen menolak menyembah kaisar dan dewa-dewa Romawi, tetapi memuja Kristus secara sembunyi-sembunyi di rumah masing-masing, mereka dianggap orang kafir. Orang-orang Smyrna memburu orang-orang Kristen dengan pekikan, “Enyahlah orang kafir.” Karena mereka tahu bahwa orang-orang Kristen tidak pernah berperan serta dalam berbagai perayaan mereka yang memuja bermacam-macam dewa dan karena tidak pernah mempersembahkan korban, maka mereka menyerang kelompok yang mereka anggap tidak patriotik serta tidak beragama ini.

Maka, Polikarpus pun masuk dalam arena yang penuh dengan kumpulan orang beringas. Tampaknya, gubernur Romawi di sana menghormati usia uskup tersebut. Seperti Pilatus , ia tidak ingin dianggap keji, jika mungkin. Hanya jika Polikarpus mau malakukan persembahan korban, maka semuanya dapat pulang kembali dengan selamat.

“Hormatilah usiamu Pak Tua,” seru gubernur Romawi itu. “Bersumpahlah demi berkat Kaisar. Ubahlah pendirianmu serta berserulah, ‘Enyahkan orang-orang kafir!’”

Sebenarnya, gubernur Romawi itu ingin Polikarpus menyelamatkan dirinya sendiri dengan melepaskan dirinya dari orang-orang Kristen yang dianggap ‘kafir’ itu. Namun, Polikarpus hanya memandang kerumunan orang yang sedang mencemohkannya. Sambil mengisyaratkan ke arah mereka, ia berseru, ‘Enyahkan orang-orang kafir!’

Gubernur Romawi itu berusaha lagi: “Angkatlah sumpah dan saya akan membebaskanmu. Hujatlah Kristus!”

Uskup itupun berdiri dengan tegar. Ia berkata, “Selama delapan puluh enam tahun aku telah mengabdi kepadaNya dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku dapat mencaci Raja yang telah menyelamatku?”

Menurut kisah, Polikarpus pernah menjadi murid Rasul Yohanes. Jika demikian, mungkin ialah orang terakhir yang berhubungan dengan gereja para rasul. Kira-kira empat puluh tahun sebelumnya, ketika Polikarpus memulai pelayannnya sebagai uskup, Bapa Gereja Ignatius telah menulis surat khusus untuknya. Polikarpus sendiri telah menulis suratnya untuk orang-orang Filipi. Meskipun surat tersebut tidak begitu cemerlang ataupun merupakan pendapatnya sendiri, namun mengandung unsur-unsur kebenaran yang ia pelajari dari para gurunya. Polikarpus tidak mengulas Perjanjian Lama, seperti orang-orang Kristen yang muncul kemudian, tetapi ia menyitir para rasul dan pemuka gereja lainnya untuk meyakinkan orang-orang Filipi.

Kira-kira satu tahun sebelum kemartirannya, Polikarpus berkunjung ke Roma untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang tanggal Hari Raya Paskah dengan uskup Roma. Ada cerita yang mengisahkan bahwa ia terlibat dalam perdebatan dengan Marcion, yang ia juluki ‘Anak Sulung Setan’. Ajaran-ajaran para rasul yang ditampilkannya telah membuat beberapa pengikut Marcion bertobat.

Itulah peranan Polikarpus: saksi yang setia. Para pemimpin yang muncul kemudian hari mengadakan pendekatan-pendekatan kreatif untuk mengubah keadaan, namun pada zaman Polikarpus, yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan. Ia setia sampai mati.

Di arena perdebatan, pertukaran pendapat antara sang uskup dan gubernur Romawi berlanjut. Pada suatu saat, Polikarpus menghardik lawan bicaranya: “Jika kamu ….. berpura-pura tidak mengenal saya, dengarlah baik-baik: Saya adalah seorang Kristen. Jika Anda ingin mengetahui ajaran Kristen, luangkanlah satu hari khusus untuk mendengarkan saya.”

Gubernur Romawi itupun mengancam akan melemparkan dia ke binatang-binatang buas. “Panggil binatang-binatang itu!” seru Polikarpus. “Jika hal itu akan mengubah keadaan buruk menjadi baik, tetapi bukan keadaan yang lebih baik menjadi lebih buruk.”

Ketika ia diancamakan dibakar, Polikarpus menjawab, “Apimu akan membakar hanya satu jam lamanya, kemudian akan padam, namun api penghakiman yang akan datang adalah abadi.”

Akhirnya Polikarpus dinyatakan sebagai orang yang tidak akan menarik kembali pernyataaan-pernyataannya. Rakyat Smyrnapun berteriak: “Inilah guru dari Asia , bapa orang-orang Kristen, pemusnah dewa-dewa kita, yang mengajar orang-orang untuk tidak menyembah (dewa-dewa) dan mempersembahkan korban sembelihan.”

Gubernur Romawi menitahkan agar ia dibakar hidup-hidup. Ia diikat pada sebuah tiang dan dibakar. Namun, menurut seorang saksi mata, badannya tidak termakan api. “Ia berada di tengah, tidak seperti daging yang terbakar, tetapi seperti roti di tempat pemanggangan, atau seperti emas atau perak dimurnikan diatas tungku perapian. Kami mencium aroma yang harum, seperti wangi kemenyan atau rempah mahal.” Ketika seorang algojo menikamnya, darah yang mengalir memadamkan api itu.

Kisah ini tersebar ke jemaat-jemaat di seluruh kekaisaran. Gereja menyimpan laporan-laporan semacam itu dan mulai memeringati hari-hari kelahiran serta kematian para martir. Bahkan mereka juga mengumpulkan tulang-tulang nya serta peninggalan lainnya. Setiap tanggal 23 Februari, diperingati hari “Kelahiran Polikarpus” masuk ke surga.

Dalam kurun waktu satu setengah abad berikutnya, ratusan martir menuju kematian mereka dengan setia dan banyak diantara mereka maju dengan semangat. Ini didasrkan pada laporan saksi mata uskup Smyrna itu.

KISAH VIKTOR BRANNSTORM
Misionaris Bagi China (Meninggal 1944)

Kami menerima sebuah catatan dari seorang sponsor, ditulis di atas amplop pemberian bagi pelayanan kami. Pada baris kalimat: “Ayahku mati di China sebagai martir pada tahun 1944.” Ketika kami menghubungi Wasthi B. Cushman, ia menceritakan kepada kami kisah keluarganya:

Kedua orang tuaku, Viktor dan Sonja Brannstorm, diutus oleh Gereja Smyrna di Swedia untuk melayani di China. Setelah hampir 10 tahun di China di tahun-tahun terakhir (selama Perang Dunia II) situasi memburuk, dengan adanya Laskar Merah berpatroli ke seluruh daerah dan menembak orang-orang yang mereka anggap pantas. Tidak ada batu bara untuk menghangatkan ruangan atau memasak. "Kami pindah ke Chao Chow, tetapi ayahku tetap mengajar dan berkhotbah di Ning Tsin, dengan menggunakan sepedanya ia bepergian. Pada musim panas tahun 1944 situasinya sangat gawat, dan hampir seluruh misionaris meninggalkan daerah misinya menuju gunung atau lautan untuk mencari bantuan. Pada tanggal 30 Juli, ayahku membawakan suatu khotbat yang menarik bagi jemaatnya berjudul “Kota Baru” berdasarkan Kitab Wahyu. Ketika ia dalam perjalanan kembali ke Chao Chow , ia dihentikan kurang lebih 5.5km dari pintu kota oleh sepasukan Laskar Merah. Ketika ia berusaha menjelaskan kepada mereka siapa dia, ia ditembak. Pasukan tersebut mengambil sepeda dan jam tangannya. Ia berusia 42 tahun saat itu.’

Pada saat upacara pemakaman, ibu Wasthi, Sonja, berkata keada anak-anaknya, “Mari kita bersyukur pada Allah untuk apa yang Papa telah kerjakan bagi kita semasa ia hidup.” Lalu, menurut seorang misionaris yang menghadiri pemakaman tersebut, “ Sonja mengucapkan doa penuh dengan ucapan syukur. Tidak ada keluh kesah, ddan tidak ada kata mengapa, hanya perasaan terima kasih untuk waktu yang ia jalani dengan suaminya. Ia meminta Allah untuk menyelamatkan dan mengampuni orang yang membunuh suaminya. Kemudian ia menyerahkan hidupnya dan anak-anaknya ke dalam tanganNya yang setia.”

Sonja sedang mengandung saat itu dan ia melahirkan anak yang kelima setelah itu. Keluarga ini akhirnya mampu meninggalkan China di awal tahun 1946, dengan menggunakan perahu berlayar selama delapan minggu.

Sonja tidak pernah mampu kembali lagi sebagai misionaris, tetapi ia kembali ke China sebagai seorang turis selama tahun 1980an. Walaupun saat itu ada batasan-batasan wilayah yang boleh dikunjungi turis, Sonja dan anak laki-lakinya berhasil menemukan seorang supir taksi yang rela membawa mereka ke tempat pelayanannya yang dulu. Ketika ia hampir mendekati gereja, salah seorang wanita tua mengenalinya dengan segera. Ia berlari menuju Sonja dan memeluknya.

Wasthi menyelesaikan kisah ibunya. “Betapa luar biasanya pengalaman itu bagi jiwanya. Ia tahu bahwa kerja keras mereka tidak akan sia-sia.”