Minggu, 12 Juli 2009

Matthew Alexander - Tuhan Adalah Pelindung dan Pembawa Berkat

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya mengucapkan kata "Puji Tuhan" selama hampir 24 jam. Tidak sesekali tetapi hampir setiap kali. Ya, Tuhan benar2 menunjukkan kuasaNya yang begitu besar, yang membuat saya merasakan sendiri bagaimana Allah begitu mengasihi keluarga saya.

Mungkin saya harus menceritakan cerita ini dari awal, saat istri saya mengetahui dirinya hamil bulan April 2008 lalu. Ketika kami mengecekkan kondisi kehamilannya di dokter, kami menemukan bahwa istri saya memiliki kista, miom, dan polip pada kandungannya. Yang paling berbahaya adalah polip karena letaknya di pintu rahim tempat bayi lewat. Di awal2 kehamilan, dia sudah beberapa kali mengalami pendarahan. Dokter memastikan kondisinya baik2 saja.
Di bulan2 berikutnya, memang pendarahan berhenti. Tetapi satu hal yg mengganjal pikiran saya adalah ucapan istri saya. Sekitar bulan November 2008 lalu, dia pernah berkata kalau dia bermimpi melihat foto keluarga tetapi gak ada foto dirinya. Dia mengalami mimpi itu tidak hanya sekali tetapi beberapa kali, membuat saya was2. Tanggal 25 Desember 2008, saat kami berjalan2 ke sebuah mall dekat rumah, dia tiba-tiba terpeleset. Untungnya perut tidak mengenai lantai. Hanya lututnya memar.
Mengingat mimpi istri saya dan kejadian di mall itu, sedikit banyak membuat saya cukup panik dan takut. Terlebih lokasi tempat kerja saya yang sangat jauh dan berjarak sekitar 40-60 menit perjalanan dari rumah, membuat saya semakin takut. Jika terjadi apa2 pada istri saya, bagaimana?
Kami pernah memikirkan "worst case scenario" di mana saat melahirkan istri saya adalah siang hari. Jika waktu dihitung dari kantor ke rumah dan rumah ke Rumah Sakit di siang hari, waktu yang kami butuhkan sedikitnya 3 jam (dgn alokasi waktu 1 jam dari kantor - rumah, 1 jam dari rumah ke RS, dan 1 jam kemacetan di jalan).
Berkali2 saya berdoa pada Tuhan,minta tolong Dia menjaga istri saya. Dan yang terpenting, saya ingin ada di sisinya saat istri saya sudah waktunya melahirkan. Perasaan saya sudah mengisyaratkan akan ada hal buruk yg terjadi dalam waktu dekat ini. Dan saya semakin khusuk berdoa. Setiap saat. Di mana saja.
Dan kekuatiran saya benar2 terjadi. Tanggal 7 Januari 2009 pukul 02.10 dini hari, istri saya membangunkan saya karena dia tiba2 mengalami pendarahan. Saya melihat darah mengucur sangat deras dari kakinya. Saya panik dan segera mencari kain. Istri saya berlari ke kamar mandi, mencoba membersihkan darah. Tetapi darah malah semakin banyak mengucur dan membasahi lantai. Saya segera berganti baju dan bersiap untuk berangkat. Anak pertama saya tadinya akan kami tinggal di rumah. Tapi dia sontak terbangun dan berkeras ikut.
Kami pun segera berangkat ke rumah sakit yang berjarak cukup jauh. Sepanjang perjalanan, saya tidak henti2nya berdoa pada Tuhan, minta dia memberikan kekuatan pada istriku dan anakku. Sementara istriku tidak henti2nya mencoba menghubungi rumah sakit, meminta mereka bersiap karena kami akan datang dan kondisi kami sangat darurat.
Pukul 02.40 saya tiba di rumah sakit. Istri saya segera digotong masuk dan diperiksa. Para suster menemukan bahwa istri saya kondisinya sangat kritis karena kehilangan banyak darah. Tidak ada jalan lain. Harus operasi. Mereka segera menghubungi dokter. Untungnya rumah dokter sangat dekat, sehingga dalam hitungan menit dia sudah tiba di lokasi. Pukul 03.00 operasi dilakukan dan pukul 03.33, anak kami lahir. Walau demikian, baik istri dan anak saya berada dalam kondisi sangat kritis. Tubuh anak kami sempat membiru dan segera dipasangi infus dan oksigen. Sementara istri saya masih mengalami pendarahan sehingga harus mengalami perawatan ekstra intensif.
Pukul 04.45, kulit anak saya mulai memerah. Dan untuk pertama kalinya, saya melihat anak saya waktu itu. Wajahnya merah dan saat itu menangis serta meronta-ronta. Saya melihat dia sangat kuat dan punya kemampuan survival yang sangat tinggi.
Pukul 06.30, istri saya akhirnya dipindahkan dari ruang operasi ICU ke ruang pasien. Kondisinya sudah membaik, walau masih sangat lemah untuk diajak bercakap2.
Dari kejadian itu, saya melihat berkah Tuhan benar2 luar biasa. Dia mendengar doa saya. Memang - seperti yg diimpikan istri saya - hal buruk itu terjadi. Tetapi Tuhan ada di sisi kami, dan Dia mendengar doa kami. Dia benar2 menghadirkan saya di sisi istri saya saat hal buruk itu terjadi, sehingga saya bisa menyelamatkan dirinya dan anak saya.
Satu hal yg terus-menerus membuat saya memuji nama Tuhan adalah saat Dokter kami mengucapkan hal ini, "Jika terlambat 10 menit saja, ibu dan anak Bapak sudah tiada. Bersyukur pada Tuhan karena hal ini terjadi di malam hari."
Saya bersyukur karena kejadiannya malam hari. Saya bersyukur mobil saya masih berada dalam kondisi sangat prima, sehingga perjalanan ke rumah sakit yg tadinya 60 menit bisa saya lalui hanya 30 menit. Saya bersyukur bahwa istri saya masih diberi pikiran jernih oleh Tuhan, sehingga selama di perjalanan dia masih kepikir utk berkoordinasi dgn petugas RS, sehingga saat kami tiba, dgn sigap petugas RS sudah mempersiapkan diri dan dalam hitungan kurang dari 10 menit, operasi sudah bisa dilakukan. Total waktu yg kami gunakan utk semua itu adalah 50 menit. Sedangkan istri dan anak saya hanya punya waktu 60 menit. Lewat dari itu, maka saya akan kehilangan mereka berdua. Kata dokter itu sungguh2 benar adanya.
Bayangkan jika kejadiannya terjadi di siang hari....
Karena itu... hingga saat ini, mulut saya masih mengucapkan "Puji Tuhan" setiap saat. Tuhan benar2 baik. Tuhan benar2 mendengar. Tuhan benar2 ada. Pujilah Tuhan senantiasa, karena Dia PASTI mendengar doa2 kita dan menjaga kita dalam kondisi terburuk sekalipun.
Anak kami bernama MATTHEW ALEXANDER. Nama itu berarti "Tuhan Allah adalah Pelindung dan Pembawa Berkat". Nama yg sangat sesuai dengan kondisi kami tanggal 7 Januari 2009 lalu. Tuhan Allah pelindung kami dan pemberi berkat bagi keluarga kami. Terpujilah Tuhan Yesus Kristus.

GBU,
Constantine
Sore itu, Ing Han (62) menjelaskan cara menggambar prisma segi lima kepada Maya, murid les privatnya yang duduk di kelas I SMA. ”Kita mulai dengan prinsip menggambar sudut kelipatan 18 derajat tanpa memakai busur derajat,” ujar Ing Han sambil menggambar segitiga di papan tulis.

Tangan Ing Han menggores garis tanpa sekalipun mengangkat spidol. Ia menempelkan empat potongan magnet di papan tulis sebagai patokan. Tangan kanan memegang spidol, tangan kirinya menyentuh empat magnet itu untuk memastikan posisi. Hanya sesekali ia bertanya kepada Maya, apakah tanda yang ia gambar sudah berada pada tempat yang tepat.

Ing Han adalah guru les privat Matematika dan Fisika. Banyaknya siswa SMP dan SMA yang datang dari berbagai penjuru Jakarta ke rumah Ing Han di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, menunjukkan ia piawai di bidangnya. Tak hanya mampu menjelaskan ilmu ukur ruang, ia juga terbiasa mengerjakan soal atau menurunkan rumus di luar kepala.

Bercakap-cakap dengan dia atau melihatnya beraksi mengajar anak-anak dari sekolah Pelita Harapan, Kanisius, St Ursula, BPK Penabur, atau Bina Bangsa, orang acap kali lupa ia seorang tunanetra. Selalu ada sesuatu yang ingin ia bagikan dengan orang lain. Ia bahkan menolak memakai kacamata untuk menutupi matanya yang kisut.

”Saya memang buta, lalu kenapa? Buat saya, ini sama dengan kalau orang lain yang kena sakit jantung atau ginjal, ya, saya kebagian buta,” katanya bersemangat.

Kehilangan Orientasi waktu
Awal Oktober 1987 Ing Han yang ketika itu bekerja pada perusahaan Frisian Flag hendak mengambil koran di depan rumah. Pria yang sebelumnya tak pernah berkacamata ini terkejut karena ia tak bisa membaca koran. Mata kirinya tidak bisa melihat sama sekali, sedangkan mata kanan kabur berat. Ia sempat dirawat sebulan lebih di RS Mata Aini, Jakarta, sebelum dokter di Singapura menjatuhkan vonis. Saraf mata Ing Han rusak total.

Sampai di sini, dia tiba pada pertanyaan yang sering diteriakkan anak manusia kepada Tuhan dengan kepedihan dan ketidakmengertian. Dua tahun Ing Han hanya duduk di kursi tamu rumahnya, mencari jawaban pertanyaan: ”Tuhan, mengapa? Kenapa saya? Hidup saya lurus, apa salah saya? Saya tidak main perempuan, tidak pemabuk, kerja pun lurus-lurus saja,” ujarnya.

Tak sedikit orang yang berkunjung dan memberinya nasihat. Kalimat seperti ”Tuhan mencoba tak lebih dari kekuatan kita” berulang kali didengar Ing Han. Begitu seringnya kalimat itu ia dengar, sampai menjadi ungkapan kosong yang saat itu dia tanggapi dengan apatis. ”Ngomong, sih, gampang. Coba mereka yang merasakan...,” katanya.

Hal paling menyedihkan bagi Ing Han sebagai tunanetra adalah kehilangan orientasi waktu. Semua hal yang saat dia bisa melihat terasa sederhana, seperti matahari terbit dan tenggelam, tiada lagi. Padahal, ia ingin tahu waktu supaya bisa mendengarkan siaran radio yang menjadi satu-satunya penghubung dengan dunia luar.

Setiap hari ia dihadapkan pada pertanyaan: setelah sarapan, lalu apa? Ia tak bisa lagi bekerja di kantor, membaca buku, atau jalan-jalan. Setiap hari ia hanya duduk dan merasa marah, mengapa ia jadi tunanetra?

Namun, realita tidak bisa menunggu. Benturan pada kenyataan membuat Ing Han harus bangkit. Gugatannya kepada Tuhan menjadi tak penting lagi. Ia harus menerima keadaan.

”Saya harus terima. Itu saja. Percuma saya ngeributin Tuhan ada atau enggak. Terima saja. Yang jelas, besok saya dan istri harus makan,” kata suami dari Sri Handayani Soeganda, seorang ibu rumah tangga, ini.

Setelah itu, beberapa titik cerah mulai tampak. Tahun 1989, lewat rentetan kebetulan, ia berhasil mendapatkan jam tangan khusus untuk tunanetra sehingga menyelesaikan masalahnya tentang orientasi waktu. Saat itulah ia menangis dan berdoa, ia percaya Tuhan itu ada.

Pantang menyerah
Semangatnya yang pantang menyerah membuat dia malah merasa bersyukur. Ing Han menyadari ia sebenarnya telah dipersiapkan menghadapi keadaannya kini. Dulu, ketika bersekolah di Salatiga, juara sekolah selalu di tangannya.

Profesi sang ayah sebagai guru membuat ia terbiasa hidup berkekurangan. Kondisi ini membuat Ing Han harus menopang hidup dengan memberi les privat selama ia berkuliah di Institut Teknologi Bandung.

”Saya teringat masa itu. Biarpun menjadi tunanetra, saya bisa memberikan les privat. Saya masih ingat semua rumus-rumus pelajaran (Matematika dan Fisika) itu,” katanya.

Ia mulai dari sekitar kompleks. Dengan sepeda, istrinya mengedarkan selebaran berisi jasa les privat di sekeliling kompleks perumahan mereka. Tiga murid pertama berhasil mereka dapatkan. Saat itu Ing Han belum berani mengakui kalau buta. Ia meminta murid membacakan soal, dengan alasan matanya rabun.

Hingga kini cara itu tetap dipakai walau Ing Han tidak lagi menutupi keadaan sebenarnya. Sehari-hari, kalau menemui masalah, ia langsung membongkar buku-buku lama dari masa dia SMP dan SMA, lalu meminta istrinya membacakan.

Untuk membantu pengajaran, dibuat tabel seperti Bilangan Berpangkat, bagan seperti Proyeksi serta Jarak dan Gradien, yang digantung di ruang tamurumahnya, tempat dia mengajar.

Dari teman-temannya yang guru, ia memiliki koleksi soal-soal ujian terbaru. Cerita Ing Han, dalam menangani murid yang penting adalah kesan pertama. Pada pertemuan awal ia langsung ”menjatuhkan” mental murid agar mereka percaya kepadanya dan tak berpikir ”orang buta itu tahu apa?”

Ing Han menyemangati diri dengan semboyan dari Napoleon Bonaparte, ”Tak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup.”

Menjadi tunanetra tak berarti kecemerlangan pikiran terbengkalai. Kemampuan itu justru membuat dia dapat mandiri. Ia juga bisa membantu orang lain, seperti guru-guru yang meneleponnya saat mereka kesulitan memecahkan soal hingga anak loper koran yang ia beri les privat dengan tarif diskon.

Untuk mereka yang mengalami masalah kebutaan, beberapa kali Ing Han ikut acara berbagi untuk memberi semangat, baik lewat radio maupun pertemuan, di Lembaga Daya Dharma yang berkantor di Gereja Katedral, Jakarta.

Meski tunanetra, Ing Han tetap sibuk. Ia memberi les privat kepada 17 siswa.. Bahkan, hari Minggu ia bekerja mulai dari pukul 08.00 sampai 18.00. Dia pun kini tengah berusaha memecahkan problem matematika klasik, yakni membagi sudut apa pun menjadi tiga sama besar. Untuk itu, selain bertemu dengan seorang profesor di Tunghai Unversity, Taiwan, ia juga mengontak dua jurnal matematika internasional guna mengusulkan pemecahannya....
WATCHMAN NEE

Pelihat Wahyu Ilahi

Pasangan Nee Wen-hsiu dan Lin Ho-ping adalah keluarga Kristen yang begitu merindukan anak laki-laki seperti kebanyakan orang dalam tradisi Cina. Dalam doa nazarnya mereka berjanji akan mempersembahkan anak tersebut pada Tuhan. Doa mereka dijawab dan lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Nee Shu-tsu.

P

ada tahun 1920, ketika usia Nee Shu-tsu mencapai 17 tahun, ia baru benar-benar menerima keselamatan dengan suatu keputusan bulat. Sebelumnya ia masih ragu, apakah menerima Yesus sebagai juru selamat atau tidak, apakah mau menjadi hamba Tuhan untuk melayani atau tidak.

Setelah dilahirkan kembali, ia segera dipanggil Tuhan masuk ke sekolah Alkitab di Shanghai.


Nee Shu-tsu menganggap dirinya sebagai seorang peronda yang dibangkitkan Tuhan untuk membunyikan kentongan bagi orang di malam yang gelap. Karena itu ia juga memakai nama lain, yaitu To-sheng yang berarti ‘suara kentongan’. Tapi, di samping kedua nama Cina itu ia lebih dikenal sebagai Watchman Nee.


Nee adalah seorang yang rajin membaca Alkitab dan juga buku-buku rohani. Kelebihannya dalam membaca, sepertinya ia memiliki kepekaan khusus untuk mengetahui isi sebuah buku walau baru membaca sekilas. Oleh sebab itu ia segera tumbuh menjadi hamba Tuhan yang berwawasan luas dalam masalah kerohanian. Dalam setiap pelayanan yang dilakukan ia selalu menggunakan dasar wahyu dan penderitaan yang dialami. Bagi Watchman Nee, tanpa wahyu seorang hamba Tuhan tidak akan bisa melayani, karena ia tidak bisa memberi apapun untuk disampaikan.


Banyaknya kelimpahan Kristus yang dapat dilayankan seorang hamba Tuhan tergantung pada dua hal, yaitu berapa banyak wahyu yang telah diterima dan berapa banyak penderitaan yang telah dialami sehubungan dengan wahyu yang diterimanya itu. Karena mengikut Tuhan, Nee harus rela membayar harga dengan berbagai penderitaan yang ia alami sepanjang pelayanan dan kehidupannya.


Pada tahun-tahun pertama pelayanan Nee, keadaan ekonomi Cina sedang sulit. Dalam keadaan ini ia belajar apakah kemiskinan itu. Penyakit TBC yang sedang mewabah juga membuatnya menderita dan makin memperburuk keadaan. Sebagai hamba Tuhan yang menerapkan keseimbangan dalam pelayanan, Watchman Nee dikenal banyak menerbitkan buku tentang Kristus sebagai kehidupan dan Kristus sebagai segala sesuatu. Tapi selain itu ia juga menerbitkan buku-buku tentang gereja. Seorang hamba Tuhan terkenal saat itu sempat berkomentar, “Watchman Nee adalah seorang pemuda yang pandai, ia mahir membaca buku berbahasa Inggris. Dia hanya mengumpulkan bahan-bahan ini dari buku-buku itu dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Mandarin.” Komentar tersebut ditujukan atas bukunya yang berjudul “Manusia Rohani” yang terdiri dari tiga jilid.


Untuk sebuah pelayanan yang berhasil, Nee sadar bahwa dana sangat diperlukan. Karena itu ia juga berusaha mendapatkan dana dengan usaha-usaha tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab. Keuntungan dari usaha yang dijalankannya itu sama sekali tidak diperuntukkan bagi dirinya sendiri, akan tetapi semata-mata hanya demi lancarnya misi pelayanan yang diembannya.


Tahun demi tahun berlalu. Dari satu pelayanan ke pelayanan lainnya ia jalani dengan setia. Saat itu, kesaksian yang dialami dan disampaikan Nee bersifat berlawanan dengan apa yang dilihat di antara denominasi. Sebab itu dari kalangan orang Kristen sendiri ia juga harus rela dipandang rendah. “Meskipun setiap hari aku mengalami derita sengsaraku, tetapi aku merasakan Tuhan sangat dekat denganku,” kata Watchman Nee.


Hal lain yang dilakukan denominasi adalah mengkritik dan menentang. Bahkan mereka menyerang sebisanya untuk menghancurkan pelayanan yang telah ia bangun. Tantangan-tantangan tersebut ternyata belum cukup baginya. Dari antara teman sekerjanya pun ia harus hadapi tantangan. Ia dipecat dari jawatannya hanya karena dipandang terlalu keras. Hal ini justru terjadi sewaktu Nee sedang ke luar kota menunaikan tugas. Beberapa rekan membela dan berdiri di pihaknya, namun Tuhan tidak mengijinkan ia mengadakan pembelaan apapun untuk dirinya. Pada bulan Maret 1952, Watchman Nee ditangkap. Ia diadili dengan tuduhan palsu dan dijebloskan ke penjara selama 15 tahun pada tahun 1956. Dia akhirnya meninggal dalam tahanan tanggal 30 Mei 1972. Tidak ada yang tahu bagaimana pengalamannya dengan Tuhan selama dipenjara. Di bawah bantalnya di penjara, ditemukan selembar kertas dengan tulisan: “Kristus adalah Anak Allah, yang mati menebus orang berdosa, bangkit tiga hari kemudian. Inilah fakta terbesar dalam alam semesta. Saya mati karena percaya kepada Kristus. Watchman Nee.

Kamis, 09 Juli 2009

VALUE YOUR TIME

Jack baru saja mendapatkan pelajaran berharga. Ia membuka sebuah kotak keemasan dan ia mendapati di dalamnya sesuatu yang sangat berharga juga secarik kertas yang sangat berkesan.

Waktu kecil ia tinggal bersama ibunya di sebuah kota kecil. Ia bertetangga dengan seorang duda yang istrinya sudah meninggal. Duda itu tidak mempunyai anak dan hanya tinggal sendiri.

Pria malang itu melihat Jack bertumbuh dari seorang anak-anak, sampai kencan pertamanya, lulus dari kuliah, bekerja dan menikah. Jack adalah seorang pekerja keras yang gila kerja. Ia bahkan tidak ada waktu untuk putrinya dan istrinya. Setelah ia menikah, ia dan keluarganya tidak lagi tinggal di sebelah rumah pria tua itu. Mereka pindah.

Suatu hari Jack mendapat telepon dari ibunya, "Ingat Pak Belser? Ia meninggal dunia hari Selasa lalu. Pemakamannya hari Kamis pagi." Kenangan masa kecilnya berseliweran dalam dirinya. Ia mengenang kembali masa-masa kecilnya dengan Pak Belser.

"Halo?" suara ibunya membangunkannya.

"Iya bu, aku akan ke sana hari Rabu," kata Jack "tapi kupikir Pak Belser sudah lupa tentang diriku."

"Oh tidak, Jack," kata ibunya, "Pak Belser selalu ingat padamu. Ia ingat akan hari-hari di mana kamu main-main di balik pagar rumahnya dan hari ketika kamu duduk di pangkuannya ketika istrinya meninggal."

"Beliau orang pertama yang mengajariku ilmu pertukangan. Tanpa beliau, aku tidak akan mungkin terjun ke usaha ini." kata Jack.

Sesibuk-sibuknya Jack, ia kemudian mengatur ulang jadwalnya di hari Rabu dan Kamis. Ia menghargai Pak Belser seperti ayahnya sendiri dan ia sangat ingin ada di sana ketika pemakamannya.

Hari Rabu malam ia tiba di kampung halamannya. Ia dan ibunya kemudian berjalan ke rumah Pak Belser untuk terakhir kalinya. Di beranda, ia mengintip ke dalam rumah Pak Belser. Terbesit banyak kenangan tentang masa kecilnya. Sofa yang sering ia duduk, meja makan di mana ia pernah memecahkan piring, telepon di sudut ruangan dan hey...

Jack terdiam sejenak.

"Kotak emas di ujung meja itu hilang!" seru Jack.

Ibunya bingung. Segera Jack menjelaskan tentang kotak emas di ujung meja itu. Ukurannya tak lebih dari satu jengkal orang dewasa dan bercat emas di luarnya. "Pak Belser selalu mengatakan itu miliknya paling berharga dan akan diberikan kepada seseorang yang layak menerimanya. Tapi setiap kali aku menanyakan isinya, ia selalu menjawab 'Pokoknya berharga deh'."

Dan sekarang kotak emas itu sudah tidak ada lagi. Dugaan Jack, mungkin diambil oleh seorang keluarga jauhnya.

Dua minggu kemudian setelah pemakaman, seorang kurir mengantarkan sebuah paket untuk Jack. Nama Jack tertulis di atas paket itu dengan tulisan yang sangat sulit dibaca. Jack membuka paket itu... Di dalamnya ada sebuah kotak emas (persis seperti kotak emas Pak Belser yang hilang itu) dan sepucuk surat.

Jack membaca surat itu, "Setelah kepergianku, tolong sampaikan kotak ini kepada Jack Bennet. Ini adalah harta paling berharga yang kumiliki." Sebuah kunci ada dalam amplop itu, kunci untuk membuka kotak itu. Hatinya bergetar, tanpa sadar ia menangis terharu, Jack perlahan membuka kotak itu. Di dalamnya dia menemukan sebuah jam saku yang indah yang terbuat dari emas. Dengan perlahan Jack membuka jam itu.

Di dalamnya terukir kata-kata yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya, "Terima kasih, Jack, untuk waktumu. Ini saya berikan jam untukmu, sesuatu yang paling berharga bagiku. Harold Belser."

"Yang ia hargai dariku adalah... waktuku." serunya perlahan.

Ia menggenggam jam itu beberapa saat. Kemudian ia menelepon sekertarisnya dan membatalkan semua janjinya untuk dua hari ke depan. "Mengapa?" tanya Janet, sekertarisnya.

"Aku ingin menghabiskan waktu untuk keluargaku," kata Jack, "dan Janet, terima kasih untuk waktumu."

Sobat, di dunia ini ada dua hal yang tidak bisa ditarik kembali: itu adalah perkataan dan waktu. Waktu yang sudah lewat tidak akan bisa dikembalikan lagi. Waktu tidak bisa dipaksa mundur, tidak bisa diperlambat dan juga tidak bisa dipercepat. Waktu akan terus bergerak maju dengan kecepatan konstan. Kita tidak akan bisa kembali ke masa kanak-kanak. Kita tidak bisa mengulang satu peristiwa yang sama di waktu itu.

Sudahkah Anda memberi waktu pada diri Anda dan sesama Anda? Sudahkah orang lain menghargai waktu yang telah Anda korbankan kepada mereka?